Sikap Pemerintah Atas 5 Isu Krusial RUU Pemilu
By Admin
nusakini.com--Pemerintah menyikapi lima isu krusial dalam Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Sebagian besar masih berbeda pendapat dengan Panitia Kerja RUU Pemilu di DPR.
Untuk penambahan kursi di daerah pemilihan, misalnya. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo ingin membatasi maksimal hanya lima kursi dari total 560 kursi yang ada saat ini.
Tetap Ideal Penambahan ini ditujukan bagi Kalimantan Utara sebagai provinsi baru sebanyak tiga kursi serta Kepulauan Riau dan Riau yang masing-masing satu kursi.
"Karena kami ingin memfasilitasi daerah dan keinginan DPR, maka kami minta hanya 5 kursi," ujar Tjahjo di Kemendagri, Selasa (2/5).
Tjahjo mengungkapkan negosiasi soal penambahan kursi ini harus dilakukan karena DPR menginginkan ada penambahan hingga 19 kursi. Jumlah itu, bagi pemerintah, terlampau banyak.
Tjahjo mengingatkan kuantitas tak menjadi tolak ukur kinerja. Sebab, efisiensi dan efektivitas tetap menjadi faktor utama. Meski begitu, Tjahjo tetap melihat luas wilayah dan jumlah penduduk tetap harus menjadi ukuran.
Selain penambahan kursi DPR, pemerintah dan DPR akan menambah kursi DPD dari 4 menjadi 5 kursi per daerah, isu pembatasan parliamentary threshold, presidential threshold, dan teknis penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2019.
Pada isu parliamentary threshold, Tjahjo mengatakan pemerintah ingin ada kenaikan angka ambang batas parpol untuk bisa lolos ke DPR. Saat ini ambang batas tersebut berada di 3,5%. Sementara ada beberapa fraksi yang ingin angkanya naik hingga 5% dan 7%. Menurutnya, kenaikan ini baik agar ada peningkatan kualitas parpol yang lolos ke DPR.
"Pemerintah maunya naik dong supaya ada peningkatan kualitas," tuturnya.
Untuk presidential threshold, Tjahjo menyebut sebagian besar fraksi ingin angkanya diturunkan sampai 0% dari jumlah saat ini 20% dan 25%. Menurut dia, permintaan itu sah-sah saja. Ia pun tak membantah bahwa setiap parpol berhak mengajukan calon presiden.
Namun, ia tetap meminta ada pembatasan bagi parpol yang bisa mencalonkan presiden agar calon presiden bisa datang dari parpol yang benar-benar dipilih rakyat.
"Saya nilai memang setiap parpol berhak punya calon. Tapi, harus ada batasnya dong. Masa parpol cuma punya 1% bisa majukan capres?" ujarnya.
Untuk teknis penyelenggaraan pileg dan pilpres, Tjahjo ingin agar ada jarak waktu beberapa hari antara pemungutan suara pileg dan pilpres. Menurutnya, hal itu dilakukan dengan alasan keamanan.
"Ya, kalau ada jarak 2-3 hari saja, misalnya. Itu lebih baik. Karena keamanan akan lebih fokus pada pilpres. Tapi, Mahkamah Konstitusi kan menghendaki serentak berarti satu hari. Lihat bagaimana nanti," kata dia.(p/ab)